Cari Blog Ini

Jumat, 14 Juni 2013

Suatu Ketika, Berkhayal Tentang Kemandirian Hidup

Keadaan ekonomi yang semangkin mencekik seperti sekarang ini membuat saya kadang berpikir aneh-aneh, barangkali sebagai wujud mulai menipisnya rasa resistensi menuju tahap depresi.
Ketergantungan kita terhadap minyak (baca: BBM) sepertinya memang sudah sedemikian eratnya sama seperti ketergantungan kita akan Amerika dan sekutu-sekutunya.
Lha habisnya gimana, terbukti toh waktu BBM lagi tinggi-tingginya seperti sekarang ini, harga-harga yang lain mau tak mau ya pasti akan merangkak naik karena tidak ada satupun harga yang tidak tergantung pada BBM.

Mau harga nasi uduk Denok di Enim sampai harga sewa Rel di Pela-Pela (Pasar Lindajang), "lha mbok yakin seyakin-yakinnya ya pasti naik".
Denok butuh minyak untuk memasak nasi Uduknya, sedangkan Rel di Pela'-pela' butuh nasi Uduk untuk dimakan supaya bolehnya goyang naik-turun untuk tamu-tamunya si hidung belang ya semakin menggairahkan.
Kalau beras tanpa minyak ya ndak jadi nasi, kalau "Rel" Pela'-pela' tanpa makan nasi ya mana bisa jadi gayeng?
Ya, sudahlah namanya juga orang mumet, mari mengikuti cara pikir saya yang aneh bin ajaib dan hampir mustahil untuk dipraktekkan ini.

Saya memimpikan jika suatu saat nanti, katakanlah "Tajir" saya berkeinginan untuk menjual semua aset saya!
Saya mau jual sejual-jualnya yang pasti nggak semurah-murahnya.
Kalau sudah laku semuanya, saya akan menulis pengumuman di manapun yang memungkinkan orang mengenal saya bahwa mulai tanggal sekian saya akan resmi mengundurkan diri dari kehidupan modern yang penuh hiruk pikuk ini.

Saya akan sampaikan begini pengumumannya

“Rekan dan kerabat, kawan serta sobat mulai saat ini saya mengundurkan diri dari kehidupan modern ini. Jangan pernah berharap untuk bisa mengkontak saya lagi karena Anda tidak akan pernah mampu menemukan cara mengontak saya. Semua urusan sudah saya selesaikan jadi selamat berjuang!”

Lalu saya akan meninggalkan semuanya, ya tempat tinggal saya,  pekerjaan saya, ya teman-teman saya.
Saya akan membeli sepetak tanah di kaki Gunung "Sarambung Masiang" Kaladi (Suli Barat) sana, lalu mendirikan rumah yang terbuat dari kayu serta sirap bambu.
Atapnya tetap anyaman daun dari pohon sagu, tapi bumi adalah lantainya, tanah maksud saya. Tanpa keramik apalagi parquet, pokoknya tanah saja.
Segala perkakas saya adalah dari kayu jati dan tanah liat. Kursi, tempat tidur, meja adalah dari kayu jati, sedangkan gelas, piring adalah dari tanah liat.

Terus di sisi kiri rumah, akan saya tanami apotik hidup mulai dari jahe, kunyit, mentimun dan semua tumbuhan lain yang dapat difungsikan untuk menjadi obat ketika saya sakit.
Jadi saya ndak perlu kebingungan pergi ke dokter untuk penyakit saya atau ke apotik untuk membeli obat-obat yang sebenarnya kebanyakan justru berisi racun kimia itu.
Saya akan menyederhanakan segala penyakit saya hanya menjadi satu jenis yaitu "masuk angin". Dan obat "masuk angin" yang termujarab hanyalah satu minum jahe campur asem panas-panas serta membubuhi badan dengan kunyit supaya hangat dan terusirlah angin dari dalam tubuh lalu sembuh!

Semudah itu! Sesimple itu!

Tanah di sisi kanan rumah akan saya gunakan untuk menanam aneka palawija, kentang serta buah-buahan.
Jadi kalau saya makan, ndak perlu repot beli beras atau beli sayur-mayur, tinggal petik kan beres.
Daging-dagingan juga jelas akan saya hindari karena bagi saya di kehidupan yang sederhana itu nantinya, hewan ada karena harus hidup berdampingan dengan manusia, bukan untuk dimakan ataupun ditumpas keberadannya oleh kita.

Di belakangnya akan saya pelihara dua ekor sapi perah.
Kenapa sapi perah? Dari susunya saya akan dapat vitamin, dari (kotoran) tainya saya akan dapat power untuk menjalankan listrik seperti yang beberapa kali saya lihat di media bahwa kotoran sapi bisa digunakan untuk menggerakkan listrik. Lalu di atap rumah akan saya pasangi solar system. Untuk apa? Untuk mandi air panas karena hawa pegunungan itu kan dingin, selain itu untuk
menyalakan listrik juga. Lalu sapi perahnya makan apa? Mereka akan kuberi makan dengan makanan yang saya makan pula.

Saya juga tidak akan mencari pekerjaan lagi karena praktis saya tidak butuh uang. Uang jelas akan sangat saya haramkan keberadaannya di rumah dan kehidupan saya.
Pekerjaan saya adalah mengatur semua yang ada di sisi kiri dan kanan saya berjalan baik adanya sehingga saya tidak tergantung dengan orang lain maupun dunia luar.
Dunia saya barangkali juga cuma akan sebatas pagar-pagar dedaunan yang membatasi rumah dengan jalanan, tapi ya ndak papa, sekali lagi saya membatasi diri.
Saya juga akan buang itu segala koran atau televisi. Juga kalendar, handphone serta komputer.
Jadi biar, saya akan tidak pernah pusing lagi menghitung kalendar serta waktu yang bergulir semakin cepat.
Saya juga pasti akan lupa mengikuti perkembangan dunia luar serta tetek bengeknya, ya BBM lah, ya Pilkada lah, ya Pemilu lah, ya Global Warming lah!
Biar pula saya tak dapat menghubungi dan dihubungi. Satu-satunya jalan untuk menghubungi saya adalah dengan datang ke rumah saya.
Tapi siapa yang tahu rumah saya disitu? Kan saya tidak akan mengabarkan kepada siapapun juga.

Tapi saya tetap akan akrab dengan tetangga.
Saya akan akrab dengan beberapa petani disana.
Atau saya juga tak malu untuk kenalan dengan Wadduha' dan Pajju' yang kerjanya hanya tahunya menebang setiap pohon yang menurutnya sudah layak jual. Tanpa memikirkan kerugian apa yang akan diakibatkan dari tindakan mereka itu. Lalu kayu-kau dibawa dari gunung untuk dibawa ke kota. Tapi saya ndak pusing dengan semua itu, toh itu adalah pekerjaan mereka jadi biarlah mereka menikmatinya.
Yang jelas kenal dan akrab dengan mereka semua tidak akan mengotori saya dengan segala urusan dunia modern yang gegap gempita itu tadi.
Paling-paling mereka ya cuma bakalan tanya-tanya seperti apa kemewahan dan kehidupan kota itu kepada saya.
Ya saya akan jawab sekenanya dan sekalian saya beritahukan kepada mereka untuk menolak mentah-mentah terhadap apapun yang namanya kemewahan itu meski itu pasti tak mudah untuk mereka.

Lalu selebihnya saya akan menghabiskan hidup di sana.
Dalam kebahagiaan yang tak ternilai, bekerja dan hidup untuk pemenuhan kebutuhan diri sendiri yang paling hakiki.
Kebutuhan yang memang harus diadakan untuk pertimbangan hidup dan mati, bukan enak dan tidak enak.

Ah… tapi itu semua khayalan!
Pada kenyataannya, memang tidak memungkinkan sama sekali untuk dijalani, bukan?
Kita telah terlanjur terjerat, terjerat…