Cari Blog Ini

Sabtu, 19 November 2011

Mengenali Paotere (Tak hanya untuk dilihat, tapi diceritakan)




Kali ini saya akan nulis pengalaman perjalanan saat mengunjungi pelabuhan Paotere, Tulisan ini terinspirasi dari blog kawan, namanya “Mas” atau Kakak kami Eko Rusdianto (www.ekorusdianto.blogspot.com). Tiap kali dia menulis selalu menyerempet sisi sejarah.

Dan berawal dari kebiasaan saya yang menggemari seni photograpi, dan hasil jepretan yang saya unggah di Facebook, ada sebuah komentar, “jangan cuma di lihat, tapi ceritakan”  itu komentar dari “Mas” kurang lebih begitu.


Siang itu, kamis 20 oktober 2011 saya  mengajak Ryad, dan Aztian mengunjungi Pelabuhan Paotere. Awalnya mereka menolak, karena cuaca yang begitu gerah. Tapi setelah saya bujuk-bujuk akhirnya mereka menyerah. Berangkat dari TMP15.A, saya meyakinkan bahwa pemandangan di Paotere sangat cantik, kalau kepanasan kita bisa berteduh di rumah- rumah milik nelayan sekitar pelra (pelabuhan rakyat) Paotere atau di salah satu kapal yang bersandar jikalau hujan turun.

Sehari sebelunya, sebenarnya saya sudah mengunjungi Paotere. Saya bertemu dengan Aco Bolonk seorang ponakan yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) “Muara Sentosa” itu nama kapalnya, kapal jenis Landing Craft Tangker (LCT) kapal komersial yang mengangkut berbagai muatan (misalnya alat-alat berat, BBM, Material dan barang-barang konstruksi) ke berbagai penjuru Indonesia, terutama ke daerah pertambangan yang berada di pulau atau pantai terpencil.  Saya menyempatkan diri naik ke atas dek kapal itu, dan  berkenalan dengan beberapa kru lainnya, ada nahkoda, dan Capt. Kapal. Saya juga merasa beruntung karena diajak makan siang bersama mereka, disalah satu restoran ikan segar tak jauh dari pelabuhan, namanya “Tepi Pantai”.Menu makanannya adalah ikan segar, yang ditumpukkan di dalam kotak styrofoam

Siang itu sekitar pukul 14.00 matahari begitu menyengat. Kepala saya jadi puyeng, saya , Riyad dan Aztian memilih sebuah warung.Seraya memesan ikan bakar, nasi, sayur, dan cobek-cobek ala Makassar. Rasanya nikmat sekali, tapi aroma bercampur bau sampah dan amis ikan. Paotere tak dikelola dengan baik, di pinggiran dermaganya sampah menumpuk, mengapung bergoyang-goyang. Saya juga tak melihat ada tempat sampah di sekitaran tempat itu.

Mengenali Paotere, rasanya kurang lengkap bila hanya sehari. Saya ingin tahu lebih jauh, bagaimana cerita orang-orangnya dan apa saja yang mereka lakukan.

PAOTERE adalah pelabuhan rakyat. Di pelabuhan inilah, perdagangan antar pulau dilakukan, dari ujung timur Indonesia, Irian hingga ke Togean atau Miangas Pulau kecil  di ujung Sulawesi Utara.

Tidak sulit mencapai Paotere, hanya butuh sekitar 30 menit dari pusat kota Makassar dengan kendaraan roda empat. Untuk memasukinya setiap pengunjung dikenakan biaya Rp2.000  dan parkir kendaraan roda empat adalah Rp7.000.

Di Paotere anda bisa melihat, kapal-kapal besar dengan tiang tinggi, layar dan lambung-lambung kokoh dari kayu. Saya merasa beruntung masih bisa menyaksikan pemandangan itu. sebab selain Phinisi kapal besar dengan tiang kayu itu, saya juga bisa melihat jolloro, katinting, karoro, patorani. Perahu-perahu ini dibedakan berdasarkan fungsi, bentuk, alat tangkap dan jenis mesin. Perahu-perahu tersebut banyak di gunakan untuk kebutuhan sehari-hari diantaranya sebagai alat transportasi, dan alat tangkap. Ukurannya tak terlalu besar

Paotere terletak di bagian Utara Kota Makassar, sekitar 3 km dari Pantai Losari. Pelabuhan ini berdiri pada masa Kerajaan Gowa-Tallo mencapai kejayaana abad ke-15.

Setelah makan, saya melihat seoarang lelaki kekar, telanjang dada berjalan ke arah kapal. Tangan kanannya meraih sarung yang tersandang di pundak, kemudian ditutupkannya kekepala.
Tapi tiba-tiba dia menepi memberi jalan kepada seorang lelaki lain, yang memikul karung. Beban pikulannya saya rasa berat, Karena harus berjalan membungkuk, urat-urat betis menegang.

Rasdin Daeng Pawinnu, nama lelaki itu, usianya 35 tahun. Sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan buruh harian di Paotere. Mengangkat barang-barang dagangan apa saja, dari yang ringan hingga yang berat. Pendapatan dia menjadi buruh palabuhan kecil, yang penting cukup untuk makan sehari dengan keluarga. Urusan besok, akan dipikirkan ulang. "Paotere adalah hidup kami, piring kami. Untuk itu, kami meminta kepada pemerintah agar tetap mempertahankan Paotere seperti sekarang ini, jangan lagi dipindahkan atau di ubah bentuk dan fungsi agar kami masih bisa tetap hidup di sini," harapnya. Rencananya, proyek yang dimulai 2012 ini akan menempatkan terminal komersial di daerah Pelabuhan Rakyat Paotere. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) akan melakukan reklamasi pantai seluas 5 hektare (ha) untuk perluasan terminal penumpang hingga areal PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Selama ini, baik terminal niaga maupun penumpang, masih menyatu dan tidak memiliki sekat.

Akibatnya, kapal penumpang yang hendak merapat ke pelabuhan Soekarno Hatta kadang terganggu dengan aktivitas angkutan peti kemas, demikian sebaliknya. Saat ini PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV masih merampungkan rencana pengembangan proyek tersebut.

Rasdin memang anak laut. Lahir di Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Sejak kecil, dia senang bermain di laut. Kalau air surut, pasirnya dijadikan lapangan untuk bermain bola. Tapi itu hanya cerita masa kecilnya. Rumah orang tua Rasdin seudah tak ada lagi, sekarang sudah berubah menjadi Kelurahan Gusung. Sebagai gantinya mereka mendapat sebidang tanah untuk membangun sebuah rumah tepat di samping (TPI) Tempat Pelelangan Ikan Paotere, tak jauh dari tempat kami berbincang, beliau pun tak sungkan mengajakku untuk mampir ke rumahnya.

Menurut dia, penyebutan nama Paotere tidak lepas dari aktivitas penduduk yang bermukim di sekitar sungai Paotere. "Mereka adalah pendatang. Mereka dari Mandar yang ahli merajut tali atau otere. Nenek-nenek kita dulu menyebutnya paotere, pembuat otere," ujar Rasdin. Sementara itu, nama Gusung juga memiliki kisah sendiri. Menurut Rasdin, daerah yang saat ini merupakan kawasan Pelabuhan Rakyat Paotere terbentuk dari gundukan tanah akibat dorongan air laut. "Disebut Gusung karena dulu tidak ada pohon dan banyak tanah gundukan," kata dia.

Aktivitas nelayan yang terkonsentrasi di Gusung itulah yang akhirnya membentuk pasar Tempat pasar masih bisa ditemui di perempatan Jalan Sabutung Baru dan Jalan Barukang Raya, Jalan Barukang Utara, hingga pintu lama Paotere.
Ketiga daerah ini menjadi kenangan bagi Rasdin. Hingga 1980-an, daerah itu dikuasai oleh petambak dan pedagang ikan.Sementara nelayan dengan sebutan lete, lambo, pajala, karoro, patorani, dan sandeq, bersandar di pinggir Pantai Gusung. Menurut Rasdin, pengguna kapal itu adalah nelayan dari Parepare, Mandar, Maros, dan Buton, yang datang menjual ikannya kepada palembarak (pengumpul) dan pagandeng atau pedagang yang menggunakan sepeda dari Makassar dan sekitarnya. "Kapal nelayan, dari Cambaya, Gusung, hingga Paotere, berjejer saat itu," jelasnya.

Pada 1970-1980, pemerintah mereklamasi Pantai Gusung dan Paotere serta membangun pemecah ombak. "Setelah diambil alih oleh pemerintah, kapal pinisi pun sudah bisa masuk," kata Rasdin. Keberadaan perahu pinisi di sini
merupakan bukti peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14 sewaktu memberangkatkan sekitar 200 armada Perahu Phinisi ke Malaka. “tambahnya.
 Kehadiran kapal pinisi kini menjadi objek menarik para wisatawan.Catatan sejarah Sulawesi Selatan menyebutkan, Paotere adalah salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo dulu yang pernah menjadi penggerak ekonomi Makassar. Aktivitas niaga di sana diperkirakan sudah terjadi sejak abad ke-14, di bawah kendali Kerajaan Gowa-Tallo.

            Faisal Salatta, pemilik warung tenda tempat kami makan, mengatakan kawasan yang berjarak lima kilometer dari Pantai Losari ini banyak dikunjungi oleh wisatawan. "Hingga sekarang masih banyak wisatawan luar dan lokal yang datang," ujarnya. Faisal, 43 tahun, seorang mantan pegawai bank swasta melanjutkan bila diantara beberapa objek wisata, Paotere yang masih terjaga karena kapal pinisi, kapal penumpang antarpulau, kapal nelayan jolloro, katinting, karoro, patorani masih bersandar. "Pemandangan ini banyak yang suka."

Menurutnya, saat ini, pelabuhan yang dikelola PT Pelindo itu telah berubah bentuk. Pelabuhan yang penuh nilai historis dan sejarah itu sudah diberi sentuhan modern. Fasilitas pun memberikan kemudahan bagi kapal yang akan merapat ke dermaga. Pelabuhan Paotere dilengkapi dermaga sepanjang 550 meter, lapangan penyimpanan barang sementara, hingga tourist centre. Selain itu, juga ada penahan gelombang yang bertujuan untuk mempermudah kapal-kapal memasuki dermaga

Saat ini lanjut Faisal, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar menerapkan sistem rantai dingin atau cold change system. Dengan sistem ini kata dia, konsumen akan bisa menikmati ikan segar. "Mulai dari kapal penangkap ikan dilengkapi dengan es pendingin, kemudian sampai di pelabuhan ada mini cold storage, demikian pula motor, becak atau sepeda yang mengantar ikan ke konsumen harus dilengkapi dengan es pendingin. Dengan demikian, diharapkan ikan sampai ke konsumen dalam keadaan segar atau fresh," papar Faisal. 

Menurut Faisal, saat ini infrastruktur sudah bagus, pemerintah sudah memperbaiki pelataran dan tinggal dermaga yang masih harus dipoles. Ikan baronang, cepak, sunu atau kerapu, dan ikan bolu atau bandeng, merupakan maskot menu yang selalu disajikan baik di warung-warung tenda maupun rumah makan berkelas di Paotere. Pengunjung juga bisa membawa pulang ole-ole berupa ikan asin dari berbagai jenis ikan, seperti teri, sunu, kakap merah. 

Tapi saya heran, di Paotere aktifitas pelabuhan semuanya masih menggunakan tenaga manusia. Karung-karung beras, zak-zak semen, hingga tabung-tabung gas. Semua dipikul dan dijinjing. Sepertinya modernitas tak menyentuh tempat ini.

Menikamati hari dipelabuhan paotere bukanlah pilihan yang salah, dari sana saya bisa belajar tentang banyak hal. Tidak salah jika pemerintah kota Makassar menjadikan Paotere sebagai salah satu kawasan wisata

saya pun sempat mengabadikan beberapa photo *hehehehehe. Check This Out Foto Foto