Kali ini saya akan nulis pengalaman
perjalanan saat mengunjungi pelabuhan Paotere, Tulisan ini terinspirasi dari
blog kawan, namanya “Mas” atau Kakak kami Eko Rusdianto (www.ekorusdianto.blogspot.com). Tiap kali dia menulis selalu menyerempet sisi
sejarah.
Dan berawal
dari kebiasaan saya yang menggemari seni photograpi, dan hasil jepretan yang
saya unggah di Facebook, ada sebuah komentar, “jangan cuma di lihat, tapi
ceritakan” itu komentar dari “Mas”
kurang lebih begitu.
Siang itu,
kamis 20 oktober 2011 saya mengajak
Ryad, dan Aztian mengunjungi Pelabuhan Paotere. Awalnya mereka menolak, karena
cuaca yang begitu gerah. Tapi setelah saya bujuk-bujuk akhirnya mereka
menyerah. Berangkat dari TMP15.A, saya
meyakinkan bahwa pemandangan di Paotere sangat cantik, kalau kepanasan kita
bisa berteduh di rumah- rumah milik nelayan sekitar pelra (pelabuhan rakyat)
Paotere atau di salah satu kapal yang bersandar jikalau hujan turun.
Sehari
sebelunya, sebenarnya saya sudah mengunjungi Paotere. Saya bertemu dengan Aco
Bolonk seorang ponakan yang bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) “Muara
Sentosa” itu nama kapalnya, kapal jenis Landing Craft Tangker (LCT) kapal komersial yang mengangkut
berbagai muatan (misalnya alat-alat berat, BBM, Material dan barang-barang
konstruksi) ke berbagai penjuru Indonesia, terutama ke daerah pertambangan yang
berada di pulau atau pantai terpencil. Saya menyempatkan diri naik ke atas dek kapal
itu, dan berkenalan dengan beberapa kru
lainnya, ada nahkoda, dan Capt. Kapal. Saya juga merasa beruntung karena diajak
makan siang bersama mereka, disalah satu restoran ikan segar tak jauh dari
pelabuhan, namanya “Tepi Pantai”.Menu
makanannya adalah ikan segar, yang ditumpukkan di dalam kotak styrofoam
Siang itu sekitar pukul 14.00 matahari begitu menyengat.
Kepala saya jadi puyeng, saya , Riyad dan Aztian memilih sebuah warung.Seraya
memesan ikan bakar, nasi, sayur, dan cobek-cobek ala Makassar. Rasanya nikmat
sekali, tapi aroma bercampur bau sampah dan amis
ikan. Paotere tak dikelola dengan baik, di pinggiran dermaganya sampah
menumpuk, mengapung bergoyang-goyang. Saya juga tak melihat ada tempat sampah
di sekitaran tempat itu.
Mengenali
Paotere, rasanya kurang lengkap bila hanya sehari. Saya ingin tahu lebih jauh,
bagaimana cerita orang-orangnya dan apa saja yang mereka lakukan.
PAOTERE adalah
pelabuhan rakyat. Di pelabuhan
inilah, perdagangan antar pulau dilakukan, dari ujung timur Indonesia, Irian
hingga ke Togean atau Miangas Pulau kecil
di ujung Sulawesi Utara.
Tidak sulit mencapai Paotere, hanya
butuh sekitar 30 menit dari pusat kota Makassar dengan kendaraan roda empat.
Untuk memasukinya setiap pengunjung dikenakan biaya Rp2.000 dan parkir kendaraan roda empat adalah
Rp7.000.
Di Paotere anda bisa melihat, kapal-kapal besar dengan tiang tinggi,
layar dan lambung-lambung kokoh dari kayu. Saya merasa beruntung masih bisa
menyaksikan pemandangan itu. sebab selain Phinisi kapal besar dengan tiang kayu
itu, saya juga bisa melihat jolloro, katinting,
karoro, patorani. Perahu-perahu ini dibedakan berdasarkan fungsi, bentuk,
alat tangkap dan jenis mesin. Perahu-perahu tersebut banyak di gunakan untuk
kebutuhan sehari-hari diantaranya sebagai alat transportasi, dan alat tangkap.
Ukurannya tak terlalu besar
Paotere terletak di bagian
Utara Kota Makassar, sekitar 3 km dari Pantai Losari. Pelabuhan ini berdiri
pada masa Kerajaan Gowa-Tallo mencapai kejayaana abad ke-15.
Setelah makan, saya melihat seoarang lelaki kekar,
telanjang dada berjalan ke arah kapal. Tangan kanannya meraih sarung yang
tersandang di pundak, kemudian ditutupkannya kekepala.
Tapi tiba-tiba dia
menepi memberi jalan kepada seorang lelaki lain, yang memikul karung. Beban
pikulannya saya rasa berat, Karena harus berjalan membungkuk, urat-urat betis
menegang.
Rasdin Daeng Pawinnu, nama lelaki itu, usianya 35
tahun. Sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan buruh harian di Paotere.
Mengangkat barang-barang dagangan apa saja, dari yang ringan hingga yang berat.
Pendapatan dia menjadi buruh palabuhan kecil, yang penting cukup untuk makan
sehari dengan keluarga. Urusan besok, akan dipikirkan ulang. "Paotere
adalah hidup kami, piring kami. Untuk itu, kami meminta kepada pemerintah agar
tetap mempertahankan Paotere seperti sekarang ini, jangan lagi dipindahkan atau
di ubah bentuk dan fungsi agar kami masih bisa tetap hidup di sini," harapnya.
Rencananya, proyek yang dimulai 2012 ini akan menempatkan terminal komersial di
daerah Pelabuhan Rakyat Paotere. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) akan
melakukan reklamasi pantai seluas 5 hektare (ha) untuk perluasan terminal
penumpang hingga areal PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Selama ini, baik
terminal niaga maupun penumpang, masih menyatu dan tidak memiliki sekat.
Akibatnya, kapal penumpang yang hendak merapat ke
pelabuhan Soekarno Hatta kadang terganggu dengan aktivitas angkutan peti kemas,
demikian sebaliknya. Saat ini PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) IV masih
merampungkan rencana pengembangan proyek tersebut.
Rasdin memang anak laut. Lahir di
Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Sejak kecil, dia senang bermain di laut. Kalau
air surut, pasirnya dijadikan lapangan untuk bermain bola. Tapi itu hanya
cerita masa kecilnya. Rumah orang tua Rasdin seudah tak ada lagi, sekarang
sudah berubah menjadi Kelurahan Gusung. Sebagai gantinya mereka mendapat
sebidang tanah untuk membangun sebuah rumah tepat di samping (TPI) Tempat
Pelelangan Ikan Paotere, tak jauh dari tempat kami berbincang, beliau pun tak
sungkan mengajakku untuk mampir ke rumahnya.
Menurut
dia, penyebutan nama Paotere tidak lepas dari aktivitas penduduk yang bermukim
di sekitar sungai Paotere. "Mereka adalah pendatang. Mereka dari Mandar
yang ahli merajut tali atau otere. Nenek-nenek kita dulu menyebutnya paotere,
pembuat otere," ujar Rasdin. Sementara itu, nama Gusung juga memiliki
kisah sendiri. Menurut Rasdin, daerah yang saat ini merupakan kawasan Pelabuhan
Rakyat Paotere terbentuk dari gundukan tanah akibat dorongan air laut.
"Disebut Gusung karena dulu tidak ada pohon dan banyak tanah gundukan,"
kata dia.
Aktivitas
nelayan yang terkonsentrasi di Gusung itulah yang akhirnya membentuk pasar
Tempat pasar masih bisa ditemui di perempatan Jalan Sabutung Baru dan Jalan
Barukang Raya, Jalan Barukang Utara, hingga pintu lama Paotere.
Ketiga daerah ini
menjadi kenangan bagi Rasdin. Hingga 1980-an, daerah itu dikuasai oleh petambak
dan pedagang ikan.Sementara nelayan dengan sebutan lete, lambo, pajala, karoro, patorani, dan sandeq, bersandar di
pinggir Pantai Gusung. Menurut Rasdin, pengguna kapal itu adalah nelayan dari
Parepare, Mandar, Maros, dan Buton, yang datang menjual ikannya kepada palembarak (pengumpul) dan pagandeng atau pedagang yang menggunakan
sepeda dari Makassar dan sekitarnya. "Kapal nelayan, dari Cambaya, Gusung,
hingga Paotere, berjejer saat itu," jelasnya.
Pada 1970-1980, pemerintah mereklamasi Pantai Gusung dan Paotere serta membangun pemecah ombak. "Setelah diambil alih oleh pemerintah, kapal pinisi pun sudah bisa masuk," kata Rasdin. Keberadaan perahu pinisi di sini merupakan bukti peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14 sewaktu memberangkatkan sekitar 200 armada Perahu Phinisi ke Malaka. “tambahnya.
Pada 1970-1980, pemerintah mereklamasi Pantai Gusung dan Paotere serta membangun pemecah ombak. "Setelah diambil alih oleh pemerintah, kapal pinisi pun sudah bisa masuk," kata Rasdin. Keberadaan perahu pinisi di sini merupakan bukti peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14 sewaktu memberangkatkan sekitar 200 armada Perahu Phinisi ke Malaka. “tambahnya.
Kehadiran kapal pinisi kini menjadi objek
menarik para wisatawan.Catatan sejarah Sulawesi Selatan menyebutkan, Paotere
adalah salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo dulu yang pernah menjadi
penggerak ekonomi Makassar. Aktivitas niaga di sana diperkirakan sudah terjadi
sejak abad ke-14, di bawah kendali Kerajaan Gowa-Tallo.
Faisal Salatta, pemilik warung tenda tempat kami makan, mengatakan kawasan yang berjarak lima kilometer dari Pantai Losari ini banyak dikunjungi oleh wisatawan. "Hingga sekarang masih banyak wisatawan luar dan lokal yang datang," ujarnya. Faisal, 43 tahun, seorang mantan pegawai bank swasta melanjutkan bila diantara beberapa objek wisata, Paotere yang masih terjaga karena kapal pinisi, kapal penumpang antarpulau, kapal nelayan jolloro, katinting, karoro, patorani masih bersandar. "Pemandangan ini banyak yang suka."
Faisal Salatta, pemilik warung tenda tempat kami makan, mengatakan kawasan yang berjarak lima kilometer dari Pantai Losari ini banyak dikunjungi oleh wisatawan. "Hingga sekarang masih banyak wisatawan luar dan lokal yang datang," ujarnya. Faisal, 43 tahun, seorang mantan pegawai bank swasta melanjutkan bila diantara beberapa objek wisata, Paotere yang masih terjaga karena kapal pinisi, kapal penumpang antarpulau, kapal nelayan jolloro, katinting, karoro, patorani masih bersandar. "Pemandangan ini banyak yang suka."
Menurutnya,
saat ini, pelabuhan yang dikelola PT Pelindo itu telah berubah bentuk.
Pelabuhan yang penuh nilai historis dan sejarah itu sudah diberi sentuhan
modern. Fasilitas pun memberikan kemudahan bagi kapal yang akan merapat ke
dermaga. Pelabuhan Paotere dilengkapi dermaga sepanjang 550 meter, lapangan
penyimpanan barang sementara, hingga tourist centre. Selain itu, juga ada
penahan gelombang yang bertujuan untuk mempermudah kapal-kapal memasuki dermaga
Saat
ini lanjut Faisal, pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar menerapkan
sistem rantai dingin atau cold change system. Dengan sistem ini kata dia,
konsumen akan bisa menikmati ikan segar. "Mulai dari kapal penangkap ikan
dilengkapi dengan es pendingin, kemudian sampai di pelabuhan ada mini cold
storage, demikian pula motor, becak atau sepeda yang mengantar ikan ke konsumen
harus dilengkapi dengan es pendingin. Dengan demikian, diharapkan ikan sampai
ke konsumen dalam keadaan segar atau fresh," papar Faisal.
Menurut
Faisal, saat ini infrastruktur sudah bagus, pemerintah sudah memperbaiki
pelataran dan tinggal dermaga yang masih harus dipoles. Ikan baronang, cepak,
sunu atau kerapu, dan ikan bolu atau bandeng, merupakan maskot menu yang selalu
disajikan baik di warung-warung tenda maupun rumah makan berkelas di Paotere.
Pengunjung juga bisa membawa pulang ole-ole berupa ikan asin dari berbagai
jenis ikan, seperti teri, sunu, kakap merah.
Tapi saya heran, di Paotere
aktifitas pelabuhan semuanya masih menggunakan tenaga manusia. Karung-karung
beras, zak-zak semen, hingga tabung-tabung gas. Semua dipikul dan dijinjing.
Sepertinya modernitas tak menyentuh tempat ini.
Menikamati
hari dipelabuhan paotere bukanlah pilihan yang salah, dari sana saya bisa
belajar tentang banyak hal. Tidak salah jika pemerintah kota Makassar
menjadikan Paotere sebagai salah satu kawasan wisata
saya pun
sempat mengabadikan beberapa photo *hehehehehe. Check This Out Foto Foto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar